Selasa, 15 Oktober 2013

Konsep Negara dalam Islam

Tidak dinyatakannya istilah daulah di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadis bukan berarti tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan reformasi yang kini hebat berlaku. Begitu juga dengan istilah demokrasi, restrukturisasi, masyarakat madani, dan lain-lain istilah yang belum popular pada saat negara ini terbangun. 
Lantas apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa reformasi, demokratisasi, dan pembentukan masyarakat madani adalah proses yang inconstitusional?
Jika kita perhatikan teks al-Qur’an maupun al-Hadis secara teliti, mendalam, dan dengan pemikiran yang cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang kewajiban mendirikan negara Islam. 
Allah swt berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59)
Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekadar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu dicelahi idiom min (dari/bahagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan merujuk kepada pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).
Sedangkan kewajiban pemimpin hanya menerapkan syariat Islam saja, tidak syariat yang lain. Ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin ash-Shamit:
"Kami membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka mahupun terpaksa, dalam keadaan sempit mahupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah’."
Menurut Imam al-Khathabi arti bawaahan dalam Hadis di atas adalah nampak secara nyata atau terang-terangan. Demikian pula dengan riwayat lain yang menggunakan istilah baraahan 1 . Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kufr dalam Hadis tersebut adalah kemaksiatan2 .
Allah swt berfirman:
"Apakah undang-undang Jahilliyah yang mereka kehendaki, dan (undang-undang) siapakah yanglebih baik daripada (undang-undang) Allah bagi orang-orang yang yakin" (QS al-Maidah: 50)
Abdul Qadim Zallum mengomentari ayat di atas: "Undang-undang Jahilliyah adalah undang-undang yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw dari Tuhannya. Undang-undang Jahilliyah adalah undang-undang kufur yang dibuat oleh manusia".3
Pada ayat yang lain Allah swt berfirman:
"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang telah diturunkan Allah. Dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu" (QS al-Maidah: 48)
Perintah untuk memutuskan semua perkara (termasuk urusan kenegaraan) menurut syariat Islam ini tidak hanya ditujukan kepada Rasulullah saw, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umatnya kerana tidak ada ayat lain dalam al-Qur’an mahupun al-Hadis yang mentakhsis (mengkhususkan) perintah tersebut hanya untuk Nabi saw.
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menggariskan kewajipan untuk menegakkan kekuasaan yang berlandaskan syariat Islam.
Dalam sastera-sastera klasik memang tidak akan kita jumpai tentang cara bagaimana mendirikan suatu negara Islam. Kitab-kitab tersebut disusun ketika Kekhalifahan Islam masih berdiri dan dalam keadaan jaya sehingga tidak terlintas sedikitpun di benak para penulisnya bahwa suatu saat kekhalifahan itu akan runtuh dan diperlukan kekuatan untuk mendirikannya kembali. Sastera-sastera klasik seperti Ma’afiru al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah karya Imam al-Qasysyandi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Imam Mawardi, al-Ahkaamush Shulthaniyah karya Abu Ya’la al-Faraa, dan al-Kharaj karya al-Qadli Abu Yusuf, banyak berbicara tentang perjalanan kenegaraan Khilafah Islamiyah dan bukan cara mendirikannya. Tetapi yang jelas, sastera-sastera tersebut menyajikan fakta tentang kewujudan suatu negara Islam.

1. Rasulullah saw menerima bai’ah sebagai Ketua Negara, bukan sebagai Nabi.
    Pengakuan seorang Islam kepada kenabian Muhammad saw adalah dengan ucapan dua kalimah syahadah, bukan dengan bai’ah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra yang berkata:
    "Kami dahulu, ketika membai’ah Rasulullah saw untuk mendengar dan menaati perintah beliau, beliau selalu mengatakan kepada kami: Fi Mastatha’ta’ (sesuai dengan kemampuanmu)"
    Bai’ah ini adalah pernyataan ketaatan kepada seorang Ketua Negara, bukan sebagai seorang Islam kepada Nabinya. Buktinya adalah penolakan Rasulullah saw terhadap bai’ah seorang anak kecil yang belum baligh, iaitu Abdullah bin Hisyam. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Uqail Zahrah bin Ma’bad bahwa saudaranya, Abdullah bin Hisyam, pernah dibawa pergi oleh ibunya, iaitu Zainab binti Humaid, menghadap Rasulullah saw. Ibunya berkata: "Wahai Rasulullah, terimalah bai’ahnya." Kemudian Nabi saw menjawab: "Dia masih kecil." Beliau kemudian mengusap-usap kepala anak kecil itu dan mendoakannya.
    Jika bai’ah itu berfungsi sebagai pengakuan atas kenabian Muhammad saw, beliau tidak mungkin menolaknya walaupun datang dari seorang anak kecil yang belum baligh kerana syariat Islam menggariskan bahwa seorang anak telah terkena kewajipan agama iaitu membayar zakat yang ditanggung oleh orang tuanya.
    Dengan demikian jelaslah bahwa Rasulullah saw memegang jabatan Ketua Negara selain kedudukannya sebagai Nabi.
2. Rasulullah saw sebagai Ketua Negara mengirim surat kepada penguasa negara-negara besar untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam.
    Tidak mungkin suatu masyarakat biasa memiliki strategi politik untuk meluaskan pengaruhnya ke wilayah-wilayah sekitar, yang hanya dapat dilakukan oleh suatu negara yang memiliki kepentingan luaran yang dirumuskan dalam strategi politik luar negerinya.
    Isi surat Rasulullah saw tersebut adalah:
    "Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Dari Muhammad bin Abdullah dan Rasul Allah, kepada Heraklius pemimpin Romawi. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada siapapun yang mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan pahala kepada Anda dua kali ganda. Namun jika Anda berpaling maka Anda akan menanggung dosa rakyat Irisiyin." (HR Bukhari dalam Shahih Bukhari, juga al-Bidayah IV/226)
    Surat senada juga disampaikan kepada Kisra (Raja Persia), Muqauqis (Raja Mesir), Najasyi (Raja Ethiopia), al-Harith al-Ghassani (Raja Hirah), dan al-Harith al-Himyari (Raja Yaman). Seruan ini bukan sekadar seruan moral untuk memeluk Islam, tetapi juga seruan politik untuk menggabungkan wilayahnya di bawah kekuasan Islam walaupun dengan jalan perang. Rasulullah saw pernah mengirim surat kepada Uskup Najran yang isinya:
    "Atas nama Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub, dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, kepada Uskup Najran. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada kalian. Aku mengajak kalian untuk memuji Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub. Amma ba’d.
    Aku mengajak kalian untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan kepada hamba. Aku mengajak kalian kepada kekuasan Allah dan meninggalkan kekuasaan hamba. Jika kalian menolak ajakanku ini, maka hendaklah kalian menyerahkan jizyah. Jika kalian menolak untuk menyerahkan jizyah, berarti kalian telah memperkenankan peperangan. Wassalam." (Tafsir Ibnu Katsir I/139, al-Bidayah V/55)
    Jizyah adalah hak yang diberikan Allah swt kepada kaum muslimin dari orang-orang bukan-Islam kerana adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam .
Struktur Negara Islam pertama
Layaknya suatu negara, negara Islam yang dibentuk oleh Rasulullah saw memiliki struktur yang khas dan sistematik. Beliau mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai wakil Ketua Negara. Al-Hakim dan Tirmidzi telah mengeluarkan Hadis dari Abi Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Dua pembantuku dari langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan dari bumi adalah Abu Bakar dan Umar"
Pada masa itu wilayah kekuasaan Islam mencakup seluruh Jazirah Arab. Untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (Madinah), Rasulullah melantik para gabenor untuk memimpin wilayah. Wilayah terbahagi atas beberapa imalah yang dipimpin oleh amil atau hakim.
Rasulullah melantik Utab bin Usaid sebagai gabenor Mekah, Badhan bin Sasan sebagai gabenor Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai gabenor al-Janad, Khalid bin Said bin al-Ash sebagai amil San’a, Zaid bin Lubaid bin Tha’labah al-Anshari sebagai gabenor Hadramaut, Abu Musa al-Ashari sebagai gabenor Zabid dan Aden, Amr bin al-Ash sebagai gabenor Oman, dan di dalam kota dilantik Abu Dujanah sebagai gabenor Madinah.
Dalam urusan pengadilan (al-Qadla), Rasulullah saw mengangkat beberapa qadli (hakim). Misalnya Ali bin Abi Thalib sebagai hakim di Yaman, dimana Rasulullah pernah menasihatinya:
"Apabila dua orang yang berselisih datang menghadap kepadamu, jangan segera kau putuskan salah satu di antara mereka sebelum engkau mendengar pengaduan dari pihak yang lain. Maka engkau akan tahu bagaimana engkau harus memberi keputusan" (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Beliau juga mengangkat Muadz bin Jabal sebagai hakim di al-Janad, dan Rashid bin Abdullah sebagai qadli madzalim yang mengadili salahlaku penguasa terhadap rakyat.
Dalam urusan pentadbiran negara (al-jihaz al-idari mashalih al-daulah), Rasulullah melantik Ali bin Abi Thalib sebagai penulis perjanjian, Harits bin Auf sebagai pemegang mohor negara, Huzaifah bin al-Yaman sebagai pencatat hasil pertanian daerah Hijaz, Zubair bin al-Awwam sebagai pencatat sedekah, Mughirah bin Shu’bah sebagai pencatat kewangan dan transaksi negara, dan Syarkabil bin Hasanah sebagai penulis surat diplomatik ke berbagai negara.
Untuk memusyawarahkan hal-hal tertentu, Rasulullah membentuk Majlis Syura yang terdiri dari tujuh orang Muhajirin dan tujuh orang Anshar, di antaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Salman, Ammar, Huzaifah, Abu Dzarr, dan Bilal.
Untuk posisi panglima perang dipegang sendiri oleh Rasulullah, namun untuk perang-perang sarriyah (tidak diikuti Nabi), beliau melantik orang-orang tertentu sebagai panglima perang, misalnya Hamzah bin Abdul Muththalib, Muhammad bin Ubaidah bin al-Harits, dan Saad bin Abi Waqqash menghadapi tentara Quraisy. Lalu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah menghadapi tentara Romawi.
Demikianlah struktur negara Islam pertama secara garis besar.

Bentuk negara Islam
Rasulullah saw bersabda:
"Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada para Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali". (HR Bukhari dan Muslim)5
Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi menggantikan kedudukan beliau sebagai Ketua Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abu Bakar yang menyandang gelaran Khalifatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Ketua Negara).
Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan undang-undang Islam dan mengembangkan dakwah Islam ke seluruh pelusuk dunia".6
Imam Mawardi mengatakan:
"Imamah (atau Khilafah) adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti peranan kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia".7
Dalam masalah yang sama, Ibnu Khaldun menyatakan:
"Hakikat Khalifah adalah Shahibus-Syari’ (iaitu seseorang yang bertugas memelihara dan melaksanakan syariat) dalam memelihara urusan agama dan mengelola dunia".8
Tentang bentuk negara Khilafah ini, Rasulullah saw telah menegaskannya dalam Hadis riwayat al-Bazzar:
"...kemudian akan muncul (kembali) Khilafah yang mengikuti jejak kenabian..." 9
Berdasarkan penjelasan di atas, Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif mahupun praktikal sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi sampai runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924.

Membentuk "Masyarakat Madani"
Generasi Islam masa kini telah dijauhkan dari kekayaan khazanah peradaban Islam sehingga mereka mengalami kesulitan besar untuk memahami konsep kemasyarakatan Islam yang secara normatif diyakini sebagai yang terbaik. Tidak hairan apabila generasi Islam masa kini lebih mengetahui Masyarakat Madinah dengan idiom-idiom yang diketengahkan oleh Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan beragama, kedaulatan rakyat, sosialisme, dan lain-lain.
Salah satu kesan peracunan Barat (westoxification) terhadap benak kaum muslimin adalah kecenderungan untuk menjauhkan pendekatan hukum dalam kehidupan Islam. Agama Islam dianggap sebagai agama ritual dan cultural.
Kebesaran peradaban Islam tidak dibangun semata-mata melalui pendekatan cultural. Jika pendekatan model ini yang dipakai Rasulullah, niscaya beliau tidak akan memerangi Romawi dan negara-negara lain untuk menundukkannya di bawah kekuasaan Islam. Bahkan sebelum berdirinya negara Islam di Madinahpun para Sahabat sudah dididik dengan hukum-hukum Islam. Anas ra mengatakan:
"Apabila mereka selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum yang wajib dan yang sunat" 10
Hal tersebut dilakukan terang-terangan oleh Nabi dan para Sahabat di depan hidung kaum kafir Quraisy.
Shuhaib meriwayatkan:
"Bahwasanya ketika Umar masuk Islam, kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah" 11
Maka jelaslah bahwa Rasulullah saw selalu membina keterikatan para Sahabat dan seluruh kaum muslimin saat itu kepada hukum Islam.
Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah penolakan aspek hukum dalam ajaran Islam dan lebih menitikberatkan pada penerapan norma-norma atau yang sering diistilahkan dengan "nilai-nilai Islam". Hal ini diakibatkan oleh sikap lemah dan menyerah dari kaum muslimin terhadap pola kehidupan saat ini. Mereka merasa bahwa situasi saat ini sudah sangat sukar diubah sehingga kekuatan terbaik yang dapat dilakukan adalah menerapkan "nilai-nilai Islam" dalam perjalanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat sambil menunggu dan berharap suatu masa nanti pola kehidupan akan ber-evolusi menjadi "lebih Islamik"
Ajaran Islam tidak mungkin dapat diterapkan dengan cara tersebut. Ajaran Islam bersifat unik, berbeda secara diametral dengan ideologi-ideologi besar lainnya (sosialisme dan kapitalisme), serta memiliki hubungan yang erat antara al-fikrah (idea dasar) dengan at-thariqah (tatacara pelaksanaan). Mengambil idea dasar Islam dengan meninggalkan tatacara pelaksanaannya yang telah diatur dalam Islam adalah tindakan sia-sia.
Seperti saat ini, sebahagian kaum muslimin bercita-cita mewujudkan Indonesia Baru sebagai sebuah "Masyarakat Madani", masyarakat berperadaban tinggi yang diadaptasi dari perilaku kehidupan Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah. Nurcholish Madjid mencirikannya dengan tiga kata serangkai: adil, terbuka, demokratik.

Manusia, Masyarakat, dan Ketertiban




Manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok. Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Sehebat dan secerdas apapun orang itu pasti masih membutuhkan yang lain. Oleh karena itu, kita tidak boleh sombong di dunia ini. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia pasti akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu.

Dalam hidup berkelompok itu terjadilah interaksi antar manusia. Kalian juga senantiasa mengadakan interaksi dengan teman-teman kalian, bukan? Interaksi yang kalian lakukan pasti ada kepentingannya, sehingga bertemulah dua atau lebih kepentingan. Pertemuan kepentingan tersebut disebut “kontak“. Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua macam kontak, yaitu :
  1. Kontak yang menyenangkan, yaitu jika kepentingankepentingan yang bertemu saling memenuhi. Misalnya, penjual bertemu dengan pembeli. 
  2. Kontak yang tidak menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentingan yang bertemu bersaingan atau berlawanan. Misalnya, pelamar yang bertemu dengan pelamar yang lain, pemilik barang bertemu dengan pencuri.
Mengingat banyaknya kepentingan, terlebih kepentingan antar pribadi, tidak mustahil terjadi konflik antar sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Agar kepentingan pribadi tidak terganggu dan setiap orang merasa merasa aman, maka setiap bentuk gangguan terhadap kepentingan harus dicegah. Manusia selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan tertib, aman, dan damai, yang menjamin kelangsungan hidupnya.

Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial. Menurut Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen “man is a social and politcal being” artinya manusia itu adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat sebagai mahluk sosial itu selalu berorganisasi.

Kehidupan dalam kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari kehadirannya masingmasing. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.

Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus  memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.

Kamis, 03 Oktober 2013

Fenomena Globalisasi Sosial Budaya yang Mengglobal


Dewasa ini kita menyaksikan bahwa kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara semuanya sedang mengalami proses perubahan.
Semua itu terjadi karena adanya nilai-nilai kehidupan baru yang dibawakan oleh negara-negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya.
Banyak sekali fenomena globalisasi sosial budaya yang terjadi di negara kita dengan tanpa kita sadari. Sebelumnya, sosial budaya terbatas pada suatu negara. Kini sosial budaya sudah menjelma menjadi wacana dunia. Berikut di antaranya :
1. Pola Makan Junk Food.
     Junk Food adalah makanan rendah gizi alias makanan yang di dalamnya memiliki sedikit kandungan nutrisi seperti Hamburger, kentang goreng, fried chicken dari Mc Donald's, KFC, dan Pizza Hut. Disadari maupun tidak, kini makanan cepat saji ini sudah mulai akrab di lidah kita. Junk food memang enak, akan tetapi dampaknya tidak seenak rasanya lho....
    Mengapa demikian ? karena dalam jangka panjang, junk food ini bisa membuat anda sakit ginjal, stroke, gangguan sel-sel otak, dan lain sebagainya.
2. Tren dan Fashion.
    Busana yang terkesan wah dan wow ( yang terkesan bagus apabila dipandang ) di zaman yang modern ini kebanyakan berasal dari budaya luar negeri. Mulai dari busana yang tertutup hingga yang terbuka.
Coba perhatikan, adakah orang-orang Indonesia yang memakai pakaian daerahnya sehari-hari ??
    Jika memang ada, pasti sangat menggelikan bukan ??
3. Perkembangan IPTEK ( Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ).
    Perkembangan global saat ini sangat maju dengan pesat. Didukung dengan perkembangan IPTEK yang sangat modern, khususnya di bidang teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi seakan-akan dunia
sudah menyatu menjadi kampung sedunia. Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara, sehingga dunia menjadi tanpa batas.
Kondisi yang demikian membawa dampak kehidupan seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindakan seluruh masyarakat
Indonesia di dalam aspek kehidupannya. Keterbatasan kualitas SDM ( Sumber Daya Manusia ) Indonesia di bidang IPTEK merupakan tantangan serius dalam menghadapi gempuran global.